Hetalia: Axis Powers - Iceland Serba-Serbi Psikologi: Tugas Ilmu Filsafat Manusia. Negara

Selasa, 25 Maret 2014

Tugas Ilmu Filsafat Manusia. Negara

Negara
Sebagaimana telah kita lihat di atas, Agustinus melihat di dalam sejarah, sebagaimana dilihatnya di dalam induvidu, perselisihan antara dua prinsip kelakuan, antara dua cinta : cinta Allah dipertentangkan dengan cinta diri, kenikmatan dan dunia. Perwujudan dari kota surgawiyerusalem terjadi di dalam Gereja katolik sedangkan Negara, khususnya Negara kafir, merupakan perwujudanmerupakan perwujudan Babylon. Dia sevcara otoritasi bertanya : tabpa keadilan, bukan kerajaan-kerajaan sama dengan gerombolan besar para perampok? Bukankah gerembolan perampok sama dengan kerajaan kecil? Agustinus menggarisbawahi kata-kata seorang perampok kepada Alexander agung : “Bukankah karena aku dengan sampan kecil aku disebut sebagai perampok; sedangkan engkau, karena menggunakan armada besar, disebut sebagai kaisar?” Menurut Agustinus, Asayria dan romawi kafir didirikan, diperkembangkan dan dipertahankan atas ketidak-adilan, kekerasan, perampokan dan penindasan.
                Namum harus diingat bahwa ide mengenai kota surgawi dan duniawi adalah ide moral spiritual, yang isinya tidak identik dengan organisasi actual mana pun. di eskipun Babylon di dalam pengertian moral dan apiritual cenderung diidentikan dengan Negara khusunya Negara kafir, sedangkan kota yarusalem diidentikan dengan gereja sebagai kelihatan , identitas itu tidaklah komplit. Tidak boleh diambil kesimpulan yang sahih dengan mengatakan bahwa karena si Jhon adalah seorang pegawai Gereja, maka dengan sendirinya ia masuk di dalam kewarganegaraan kota Yarusalem, sebab secara moral dan spiritual ia mungkin termasuk warganegara kota Babylon.
                Meskipun demikian, Agustinus yakin bahwa Negara pada hakikatnya tidak didirkan atas keadilan yang benar. Alasannya ialah bahwa keadilan yang benar menuntut bahwa ibadat kepada Allah harus dilaksanakan. Agustinus mendifinisikan masyarakatv sebagai “kumpulan makhalukrasional yang diikat di dalam persetujuan umum, yakni hal-hal yang mereka cintai. “ Bila hal-hal itu baik, maka terjadilah masyarakat yang baik, sedangkan kalau hal-hal itu jelek, maka masyarakat yang terjadi juga jelek.
                Inti dari ajaran Agustinus mengenai hal ini adalah : Negara tidak akan mewujudka  keadilan yang benar, tidak akan menjadi Negara moral yang sungguh-sungguh, kalau Negara itu bukan Negara kristian : sebab kristianitaslah yang membuat manusia warga yang baik. Negara sendiri, sebagai alat dengan kekuatan, mempunyai akarnya di dalam akibat dosa asal dan mutlak harus menjadi institusi.


Ps. Dyonisius kurang lebih abad V
Nama Dyonisius sebenarnya merujuk kepada Dyonisius Areopagita yang diterbitkan oleh St. Paulus. Namun karya-karya yang dikaitkan dengan nama ini ternyata karangan orang lain yang hidup sekitar abad V. Maka tulisan-tulisan ini disebut Osoude( yang artinya sama atau tidak asli) Dyonysius> pengarang sebenarnya adalah seorang teolog dari Syris. Siapa persisnya pengarang ini tidak jelas. Namun tulisan-tulisannya mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan filsafat abad pertengahan, terutama terhadap St.Albertus Agung dan St. Thomas Aquinas.
                Menurut pengarang ini, adadua jalan untuk mendekati Allah : jalan positif dan jalan negatif. Melalui jalan positif atau affirmative, kita menerapkan kesempurnaan yang kita temukan dalam ciptaan kepada Allah, yakni kesempurnaan yang sesuai dengan kodrat spiritual Allah. Untuk itu nama-nama yang sesuai ialah nama-nama yang termasuk dalam katagori tertinggi seperti ‘kebaikan’, ‘Hidup’,’kebijaksanaan’, dan ‘kekuatan’. Namun sifat-sifat ini tidaklah hnya tempelan saja seperti sifat-sifat yang melekat pada manusia atau ciptaan lain, melainkan masuk di dalam kesatuan substansial Allah. Sifat-sifat Allah itu jauh mengatasi sifat-sifat yang ditemukan di dalam ciptaannya, sebab Allah selalu ‘lebih’, jauh lebih secara tak berhingga, dari sifat-sifat ciptaan. Bahkan sifat-sifat di atas merupakn nama yang dapat diterapkan kepada Allah.
                Menurut pengarang ini, ide tau sifat atau nama kebaikan yang diterapkan kepada ciptaan merupakan partisipasi di dalam sifat Allah dan sekaligus menyatakan kodrat Allah : “tidak ada yang baik kecuali satu, yaitu Allah”, katanya. Allah yang adalah kebaikan, merupakan sumber melimpah bagi ciptaan dan merupakan tujuan akhir dari ciptaan, dan “ dari kebaikan ( Sang Baik) keluarlah cahaya merupakan gambaran kebaikan, sehingga Sang Baik dilukiskan sebagai ‘Cahaya’, karena meupakan contoh utama dari semuanya yang diungkapkan di dalam imago (gambar). Di sini gaya neo-Platonis yang menggunakan pola cahaya dimasukkan, dan ketergantungan  Ps.Dyonisius pada neo-Platonisme menjadi jelas khususnya di dalam bahasa ketika ia berbicara mengenai kebaikan sebagai keindahaan.
                Jalan Negatif, yaitu pengingatan sifat-sifat ketdiaksempurnaan ciptaan untuk diterapkan kepada Allah, merupakan ciri khas Teologi Mistik. Kalau jalan positif sampai kepada nama-nama Allah, jalan negative menyingkirkan sifat-sifat yang tidak cocok untuk Allah, misalnya “ sifat pemabuk dan gelap mata”.Pembersihan dari sifat-sifat negative ini berlangsung terus hingga mencapai “kegelapan super esensial” manusia cenderung untuk membentuk konsepsi-konsepsi anthropormfis mengenai Allah, maka menurut pengarang ini perlulah kita melucuti pengertian-pengertian yang manusiawi melalui via remotionis. Bila masuk ke dalam kegelapan yang tak terselami, kegelapan ini bukan karena objeknya sendiri tidak dapat diengerti, tetapu karena sinarnya yang begitu cemerlang , sehingga membutakan mata hati manusia yang sangat terbatas.
                Pengaruh neo-Platonis terhadap Ps.Dyonisius sangat jelas di dalam ajarannya mengenai Tri Tunggal, Karena rupanya ia ingin mencari yang satu di belakang perbedaan-perbedaan pribadi-pribadi Ilahi. Menurut dia, perbedaan antara ketiga pribadi terdapat di dalam manifestasi abadi, dan perbedaan adalah perbedaan abadi di dalam diri Allah, jadi tidak berkaitan dengan manifestasi ekstn Allah di dalam ciptaan. Tetapi Allah di dalam dirinya sendiri, bukan di dalam manifestasinya, merupakan kesatuan mutlak tak terbedakan. Rupanya pengarang dipengaruhi tidak hanya oleh ajaran Plotinus mengenai satu, tetapi ajaran Proclus mengenai prinsip utama yang mengatasi sebutan kesatuan, kebaikan, ada.  Kesatuan pre-esensial menunjuk kepada prinsip pertama oriclus, dan perbedaan ketiga pribadi di dalam kesatuan kodrat menunjuk konsep emanasi dari neo-Platonisme, yang merupakan tahap, meskipun, tahap yang sifatnya abadi, di dalam manifestasi pribadi atau perwahyuan dari keallahan utama atau yang Absolut.
                Dari satu pihak, dalam kaitannya dengan hubungan antara dunia dengan Allah, Ps. Dyonisius berbicara mengenai Lemanasi Allah ke dalam semsetsa ciptaan. Dari lain pihak, ia berusaha menggabungkan teeori emanasi neo-Platonisme dengan ajaran Kristen mengenai penciptaan. Dunia merupakan hasil dari melimpahanya kebaikan Allah, tetapi roh bukan Allah sendiri. Dengan demikian transedensi dan seklaigus imanensi Allah di dunia ini mendapatka tekanan. Tetapi kegemaraan pengarang untuk menggambar dunia sebagai melimpahnya kebaikan Allah yang tidak terbtas, dan usahanya untuk menyajarkan prosesi ilahi intern dengan prosesi ekstern di dalam ciptaan, member kesan seakan-akan pencipta merupakan tindakan spontan Allah. Seolah-olah mau tidak mau Allah harus menciptakan semsta.
                Ps. Dynoisius menekanka  berulang kali bahwa Allah adalah penyebap transenden ( sebagai penyebab efisensi/eficent cause) dari semua hal, Allah menciptakan dunia melalui Exemmpler yang ada di dirinya. Allah juga merupakan sebab akhir ( Final Cause) dari semuannya, dan menarik mereka kepada dirinya sebagai sang kebaikan. Kejahatan menurut Ps. Dyonisisus adalah “privation” atau kekurangan, yakni absernya kebaikan yang seharusnya ada

1 komentar: